Sabtu, 31 Januari 2009

Memaafkan,memuliakan hati

Memaafkan, bagi sebagian besar orang menjadi hal yang begitu berat untuk di lakukan. Berat, sulit, atau tidak mungkin untuk di lakukan,.. semua itu telah menjadi cap yang telah menempel erat pada kegiatan mulia ini, yaitu memaafkan. Sedangkan, pada sisi yang berbeda, memohon maaf pun dapat menjadi hal yang sama beratnya dengan memaafkan. Bahkan seringkali menjadi jauh lebih berat, bila balutan 'ego' sudah demikian besarnya menguasai diri..
Pada tahun 2002, tahun yang dapat di katakan tahun yang kelam bagi aspek kedamaian indonesia, di mana bom telah menggoyahkan tatanan kedamaian Indonesia, khususnya Bali.. Akankah pelaku pemboman yang notabene telah terbutakan nuraninya, sehingga kegelapan menyelimuti hati mereka, hingga tega membunuh saudara - saudara kita sesama umat manusia.. Akankah kita berkenan memaafkan mereka? Saya tidak mengetahui jawaban Anda, tapi saya sama sekali tidak menghasut atau menghakimi, ataupun meramalkan, namun, jawaban yang kita miliki saat ini, dapat berubah setiap saat, sesuai dengan 'kedewasaan jiwa' kita dalam menyikapi hal ini.
Pada dasarnya, sebesar apapun, separah apapun kesalahan yang telah diperbuat seseorang, tidaklah bijaksana, bila kita terbungkus oleh amarah yang begitu membara dan membutakan nurani, sehingga enggan, bahkan tidak bersedia memaafkan, hanya karena tidak dapat 'menerima' kesalahan yang telah diperbuat oleh orang lain. Dalam hal ini, bijak tidak berarti harus bersikap seperti layaknya seorang suci, ataupun Hakim. Namun bijak disini, berarti bahwa kita telah bisa memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Kembali pada konteks yang sebelumnya, bila kita renungkan sejenak saja, tidak sepenuhnya sebuah kesalahan, murni di lakukan oleh seseorang sepenuhnya. Tidak selamanya hanya karena kesalahan 'subyek pelaku'. Seringkali, 'kondisi' tertentulah yang memaksa sebuah kesalahan tercipta. Jadi apakah pantas seseorang menjadi tidak termaafkan karena kesalahan yang diperbuatnya begitu besar dan mendalam, baik disengaja ataupun tidak disengaja.? meskipun telah memohon maaf dengan tulus secara mendalam.? Bijaksanakah bila bertindak demikian.? sekali lagi, bukan menggurui Anda semua, hanya saja, saya mengungkapkan pandangan saya melalui apa saya tuturkan ini.
Ada banyak hal yang mendasar yang menjadi penyebab kebanyakan dari kita, termasuk Anda dan saya, tidak mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Pertama, penyebab dari dalam diri manusia itu sendiri, yaitu 'ego'. Dalam diri manusia, ada Hati, sebuah kedamaian, ketentraman, kebenaran, berasal. Namun, hati ini berlapiskan oleh banyak lapisan yang menyelimutinya, yang salah satunya, yaitu ego. Ego yang selalu mengekang diri, dan ego juga menyebabkan kebanyakan orang berpikir bahwa hanya 'dirinyalah' yang benar, dan menganggap orang lain salah. Bagaimana bila kita melihat dari sudut pandang 'subyek bersalah', orang yang telah melakukan kesalahan. Ada perasaan bersalah dan berdosa yang demikian besar hingga menjadi beban berat dalam pundaknya, walaupun, tidak semua orang merasakan dan melakukan hal yang sama. Dan, bagaimana pula tindakan kita bila kita berada dalam posisi yang salah? Tidak semua orang akan melakukan hal yang sama. Dan sekali lagi, hanya berandai - andai. Bila mengacu pada sebuah peribahasa, "pengalaman adalah guru terbaik, tapi menurut saya pribadi, pengalaman orang lain merupakan guru yang 'lebih' baik dari yang terbaik", maka kita boleh saja beranggapan bahwa, bila kita melihat kesalahan orang lain, kita tidaklah harus melakukan kesalahan yang sama untuk memetik makna dari kesalahan itu. Cukuplah kita belajar dari kesalahan orang lain itu. Dan karena ego yang begitu besar menguasai diri, memaafkan menjadi 'tabu' atau menjadi hal yang pantang untuk dilakukan. Sehingga ego yang menguasai diri berkembang menjadi dendam, dan dendam ini tidak lagi menjadi musuh dalam selimut, 'tapi telah menjadi musuh dalam diri'.
Kedua, karena manusia memiliki perasaan yang 'sensitif'. Ada perasaan takut, bahwa kalau - kalau orang yang memohon maaf, 'tidak benar - benar sadar' akan kesalahannya, dan berimbas pada ketakukan akan terjadinya kesalahan yang sama. Memang benar, mencegah lebih baik daripada mengobati, namun, dalam hal ini, memaafkan menjadi prioritas yang utama dan juga mulia. Dan untuk sekian kalinya, saya mengajak kita semua berandai - andai, mengandaikan, bukan mengkhayalkan. Andaikata kesalahan yang sama dilakukan, maka percayalah, Tuhan punya sebuah rencana yang terbaik untuk kita, karena Tuhan mencintai semua umatnya, bahkan setiap elemen dalam alam semesta ini. Jadi, bagaimana bila ketakutan akan terjadinya kesalahan yang sama benar - benar terjadi ? Untuk hal ini, kembali kepada seberapa bijak, seberapa 'dewasa jiwa' kita dalam menyikapinya. Sah - sah saja kita tidak akan memaafkannya lagi, dan hal ini memiliki konsekuensi yang kembali lagi pada diri kita, atau bahkan dengan bijak dan ikhlas, memaafkan apa yang telah terjadi, dan pasrah kepada Tuhan sepenuhnya.
Ketiga, yang terakhir, namun tidak berarti tidak penting, yaitu hati manusia. Bila hati manusia telah terhuni oleh berbagai macam ketidakbaikan dalam dunia ini, maka jangankan memaafkan, untuk memohon maaf saja, walaupun dengan sangat jelas bahwa kita yang bersalah, tidak akan di lakukan. Bila hati nurani manusia telah terbutakan, maka tiada lagi cahaya dari hati yang bersinar dan manusia hanya menjadi budak ego, kebencian, dan dendam.
Namun, dari semua penyebab yang ada, ada sebuah pondasi yang paling kuat yang tidak akan pernah bisa di tembus oleh apapun, yaitu kekuatan cinta, kekuatan cinta kasih yang sebenarnya.
Sebagai contoh nyata, pada tahun 1940-an, salah satu kekuatan militer terkuat di dunia pada saat itu, Inggris, takluk oleh cinta kasih tanpa kekerasan oleh seorang Mahatma Ghandi. Bunda Theresa, seorang suster yang setiap harinya bergulat dengan tugas mulia Beliau, yaitu merawat pasien - pasien penderita penyakit menular, seperti kusta, menjadi 'kebal' terhadap berbagai penyakit menular itu, hanya karena sebuah kekuatan yang dinamakan cinta. Seperti itulah cinta kasih sejatinya.
Cinta kasih terhadap sesama manusia dengan memandang bahwa semua manusia adalah sama, yaitu tiada satupun manusia yang sempurna. Cinta kasih terhadap lingkungan dan alam yang telah memberikan tempat hidup yang terbaik bagi kita. Dan secara tidak langsung, bila kita bisa mencintai lingkungan dan manusia, dan melayaninya dengan cinta kasih, maka kita juga telah mencintai Tuhan dan telah melayani Tuhan dengan cinta kasih. Dan secara pandangan pribadi, saya mengungkapkan bahwa inilah makna cinta kasih yang sebenarnya.
Apabila kita telah dapat memaafkan, terlebih dengan tulus ikhlas, maka di dalam hati kita akan terasa sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Serasa ada beban berat yang terlepas dari pundak kita. Karena memaafkan dengan 'ikhlas' merupakan salah satu perbuatan yang sangat - sangat mulia di zaman yang dapat dikatakan sebagai zaman 'edan' ini. Terlebih lagi ada sebuah kata 'ikhlas' yang menyertainya. Andai boleh bertutur sejujurnya, memaafkan saja berat, apalagi dengan disertai dengan rasa ikhlas dalam memaafkan. Namun, betapa mulianya hati ini bila dapat memaafkan dengan ikhlas. Mengikhlaskan segala kesalahan dan dosa yang telah terjadi dan berusaha menjadi manusia yang mencoba melakukan yang terbaik walaupun bukan manusia yang terbaik. Memaafkan, adalah sebuah upaya dalam memuliakan hati, serta menjernihkan hati dengan membuka lapisan - lapisan ketidakbaikan dalam diri, hingga akhirnya cahaya dari dalam hati dapat memancar keluar. Karena dengan memaafkan, berarti kita berada dalam langkah untuk mendewasakan jiwa, dan mendamaikan hidup dari berbagai kekhawatiran.
Terdengar utopis atau mengkhayal ? Tidak juga. Cobalah sedikit merenungkan, bila melakukan hal baik, sekecil apapun itu, pasti, pada saat setelah melakukan hal itu, ada sebuah kepuasan tersendiri, seakan perasaan tenang, bahagia dalam diri..
Kembali kepada konteks memaafkan dengan ikhlas, yang memiliki dasar cinta. Sebenarnya, orang yang tidak bisa memaafkan orang lain, sama saja memutuskan jembatan yang harus di laluinya, karena pada dasarnya, memafkan jauh lebih mulia daripada memuja Tuhan tanpa adanya refleksi dari pemahaman tentang bagaimana mencintai Tuhan yang sesungguhnya. Karena setiap orang sebenarnya berhak mendapatkan maaf.
Tapi, semua tergantung pada diri kita, apakah masih terkekang oleh berbagai kegelapan yang membutakan nurani, atau mulai menjadi orang yang hidup dengan cinta kasih yang sebenarnya..? Mari kita selami dalam - dalam diri kita, dan temukan jawabannya dalam lubuk hati.
Saya mengutip sedikit pernyataan yang diberikan oleh sahabat saya. Bahwa sesungguhnya, segala jawaban, ada di dalam diri kita, tetapi mengapa kita seakan mencarinya di luar. 'Tak ubahnya seperti saat kita bercermin. Andaikan tampilan kita di cermin itu kurang menarik, apakah itu salah cermin ? Tentu saja tidak, sebagaimanapun cermin itu kita perbaiki, walau di bawa ke tempat aneh bernama 'ketok magic', tampilan kita di cermin akan tetap saja sama. Seharusnya kita sadar, bahwa tampilan itu adalah tampilan kita, ini berarti, tampilan kitalah yang harus di ubah, bukan cerminnya. Jadi, mengapa mesti menyalahkan orang lain, mengapa kita tidak 'bercermin' terhadap diri kita sendiri..?
"Tatkala kita bisa mencintai semuanya, dan melayani semuanya dengan cinta, maka kebahagiaan tidak lagi hanya singgah di hati dalam hidup ini, tetapi akan tinggal dan bersemayam di dalam hati". Semoga damai di hati, damai di jiwa, dan damai di kehidupan ini, semoga damai selalu menyertai"....

1 komentar:

  1. ketika ego mulai menguasai dri apalah yang dapat di perbuat???
    adakah hati yang dapat tercerminkan di dalam dri ini ?
    hanya ingin berucap manusia memang egois,,

    karena itu manusia sangatlah rapuh
    ego sebagai tameng ke rapuhannya
    mengumbar keinginan tanpa hiraukan sekitar




    ................

    BalasHapus

Silakan beri pendapat Anda,apapun itu,adalah sebuah oabt bagi ketidaksempurnaan saya.